Share Ilmu.

Pentingkah Menulis Gelar di Sosial Media?

Dalam peradaban modern yang semakin terhubung melalui teknologi digital, media sosial telah menjadi panggung utama untuk menampilkan identitas. Bagi sebagian orang, media sosial adalah galeri kesuksesan; bagi yang lain, arena pertempuran opini, dan bagi beberapa lagi, tempat pelarian dari realitas yang mungkin terasa terlalu membosankan atau keras. Di tengah hiruk-pikuk ini, muncul fenomena yang layak menjadi bahan kajian: penggunaan gelar akademik di media sosial.

Gelar akademik, yang sejatinya adalah bukti pencapaian intelektual dan jerih payah seseorang dalam dunia pendidikan, telah mengalami transfigurasi di dunia maya. Ia berubah menjadi semacam lambang status, serupa dengan pakaian mewah atau mobil sport. Namun, yang membedakan adalah daya tariknya yang seolah-olah intelektual. Tidak seperti arloji emas atau tas bermerek, gelar akademik memberikan kesan keunggulan mental. Jika Anda memakainya di depan nama Anda di profil media sosial, seolah-olah Anda menyatakan kepada dunia bahwa otak Anda adalah versi manusia dari mesin canggih, sebuah pengingat bahwa pendidikan tinggi telah menempa Anda menjadi pribadi yang lebih unggul daripada sekadar manusia rata-rata.

Namun, apakah benar demikian? Apakah menampilkan gelar di media sosial benar-benar mengundang kekaguman, ataukah ia menjadi semacam bumerang? Pertanyaan ini mungkin terlihat sederhana, tetapi sesungguhnya menyentuh lapisan yang lebih dalam dari psikologi manusia, dinamika sosial, dan bahkan etika.

Bayangkan seorang individu dengan gelar panjang berjajar di profilnya: "Dr. Ir. Agung Mahardika, M.Sc., Ph.D.". Nama ini, tanpa perlu diperiksa lebih lanjut, sudah cukup untuk membuat orang merasa terintimidasi. Kesan pertama adalah bahwa orang ini pasti pintar, sukses, dan mungkin sedikit congkak. Meskipun ini hanyalah asumsi, asumsi itulah yang sering menjadi bahan bakar opini di media sosial. Ketika "Dr. Agung" kemudian mengunggah sebuah foto sarapan paginya dengan keterangan, "Memulai hari dengan energi positif dan kopi robusta terbaik," komentar yang muncul bisa beragam. Ada yang memujinya dengan tulus, tetapi ada juga yang menyindir: "Untung gelarnya panjang, kalau nggak, mungkin cuma sarapan Indomie."

Satire terhadap fenomena ini muncul karena adanya jarak antara harapan dan kenyataan. Gelar, yang seharusnya menjadi simbol dedikasi terhadap ilmu pengetahuan, malah sering kali digunakan sebagai senjata untuk memonopoli percakapan atau mendominasi ruang diskusi. Di forum daring, misalnya, seseorang dengan gelar "Profesor" dalam bidang tertentu kerap kali merasa berhak untuk mengomentari segala hal, mulai dari politik hingga diet keto. Dalam hal ini, penggunaan gelar justru mengikis kredibilitas, karena ia dipakai di luar konteks keilmuan yang relevan.

Lalu, apa sebenarnya yang mendorong orang untuk menampilkan gelar mereka di media sosial? Apakah ini sekadar kebanggaan atas pencapaian pribadi, atau ada dorongan lain yang lebih subtil? Psikologi sosial menawarkan beberapa penjelasan menarik. Salah satunya adalah konsep "virtue signaling," yaitu kebutuhan untuk menunjukkan bahwa kita adalah orang baik, pintar, atau kompeten melalui tanda-tanda tertentu. Menampilkan gelar di media sosial bisa jadi merupakan cara untuk memenuhi kebutuhan ini. Dalam dunia yang penuh dengan persaingan dan kebisingan informasi, memiliki sesuatu yang membedakan kita dari yang lain adalah aset yang berharga.

Namun, persoalan muncul ketika gelar tersebut menjadi semacam perisai. Perisai ini digunakan untuk menghindari kritik atau bahkan memperkuat opini yang lemah. "Saya punya gelar doktor, jadi saya pasti benar," adalah argumen yang tidak hanya tidak valid, tetapi juga tidak adil. Ia melumpuhkan dialog dan menghambat proses berpikir kritis. Di sinilah letak ironinya: seseorang yang seharusnya terlatih untuk berpikir rasional dan terbuka justru menggunakan simbol statusnya untuk menutup pintu diskusi.

Fenomena ini juga memiliki dimensi budaya yang tidak bisa diabaikan. Di banyak negara, termasuk Indonesia, gelar akademik memiliki nilai yang sangat tinggi. Mereka yang berhasil meraih gelar sering kali dianggap telah mencapai status sosial yang lebih tinggi. Ini adalah hasil dari sejarah panjang yang mengaitkan pendidikan dengan mobilitas sosial. Dalam konteks ini, menampilkan gelar di media sosial mungkin merupakan upaya untuk menegaskan posisi seseorang dalam hierarki sosial.

Namun, dalam masyarakat yang semakin individualistik dan egaliter, penggunaan gelar yang berlebihan justru bisa menjadi bumerang. Ia dapat dianggap sebagai bentuk kesombongan atau, lebih parah lagi, sebagai upaya untuk menutupi insekuritas. Di dunia maya yang penuh dengan citra dan ilusi, sulit untuk membedakan mana yang asli dan mana yang sekadar topeng. Ketika seseorang menggunakan gelar akademik sebagai bagian dari identitas online-nya, pertanyaannya bukan lagi apakah gelar itu sah atau tidak, melainkan apakah penggunaannya relevan dan otentik.

Sebagai penutup, fenomena penggunaan gelar di media sosial mengungkapkan banyak hal tentang masyarakat kita. Ia mencerminkan dinamika kekuasaan, aspirasi sosial, dan kebutuhan manusia untuk diakui. Tetapi, seperti halnya semua hal yang berlebihan, ia juga mengandung risiko. Menggunakan gelar untuk membangun identitas digital mungkin memberikan keuntungan jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, kredibilitas seseorang ditentukan oleh kualitas pemikiran dan kontribusinya, bukan oleh gelar yang terpampang di profilnya.

Jadi, jika Anda merasa tergoda untuk menambahkan gelar Anda di media sosial, tanyakan pada diri sendiri: apakah ini benar-benar diperlukan? Ataukah ini hanya cara untuk memenuhi kebutuhan ego? Pada akhirnya, media sosial adalah tempat di mana tindakan kita, besar atau kecil, mencerminkan siapa kita sebenarnya. Gelar mungkin membuka pintu, tetapi kejujuran, kerendahan hati, dan otentisitas adalah kunci untuk tetap dihormati dan diingat.

Powered by wisp

1/20/2025
Related Posts
Ketika Kritik Bertemu "Ampun Suhu"

Ketika Kritik Bertemu "Ampun Suhu"

Di era di mana respons terhadap kritik seringkali berupa "ampun suhu", kita menghadapi paradoks modern: bagaimana sebuah percakapan yang dimaksudkan untuk membangun justru berubah menjadi ritual penghormatan yang absurd.

Read Full Story
Jangan Jadi Penjilat dan Play Victim di Tempat Kerja

Jangan Jadi Penjilat dan Play Victim di Tempat Kerja

Dalam konteks ini, muncul berbagai perilaku yang dapat membangun atau justru merusak hubungan kerja, seperti penjilatan dan sikap play victim.

Read Full Story
Tips atau Cara Muhasabah Diri

Tips atau Cara Muhasabah Diri

Tahun baru merupakan waktu yang tepat bagi kita melakukan muhasabah dan introspeksi diri. Gunakanlah pergantian tahun sebagai momentum yang tepat untuk melakukan change yourself. Beberapa tips untuk melakukan muhasabah yang baik adalah sebagai berikut:

Read Full Story
© Muiz Ghifari 2025
Blog powered by wisp