Share Ilmu.

Bedah Kalimat "Tolong Nurut" di Sebuah Negara Demokrasi

Di sebuah negara demokrasi, frasa "tolong nurut" bisa menjadi paradoks yang lucu sekaligus ironis. Demokrasi, secara ideal, didasarkan pada prinsip kebebasan berpendapat, partisipasi aktif, dan penghormatan terhadap hak individu. Namun, seruan "tolong nurut" justru mencerminkan semacam kontrol yang kaku, bahkan menyerupai doktrin otoriter, meski dikemas dalam nada sopan.

1. Demokrasi dengan Manual Pengguna

Bayangkan jika demokrasi datang dengan buku panduan bertajuk "Cara Menjadi Warga Demokrasi yang Baik: Tolong Nurut". Bab-babnya mungkin berisi:

  • Bab 1: Jangan Bertanya Terlalu Banyak.

  • Bab 2: Percayalah Pada yang di Atas (Bukan Tuhan, Tapi Pemimpinmu).

  • Bab 3: Kritik Itu Hakmu, Tapi Ingat, Ada Batasnya.

Padahal, inti demokrasi adalah tentang keberagaman gagasan dan keberanian untuk berbeda pendapat. "Tolong nurut" malah mendikte bagaimana warga "seharusnya" menggunakan kebebasannya, tanpa benar-benar bebas.

2. Ironi Kebebasan yang Dikendalikan

Dalam praktiknya, "tolong nurut" sering kali muncul ketika pemerintah menghadapi kritik atau tantangan. Alih-alih menjawab kritik dengan argumen logis, slogan ini menjadi alat kontrol emosional:

  • "Kalau cinta negeri ini, tolong nurut."

  • "Demi kebaikan bersama, tolong nurut."

Namun, siapa yang menentukan kebaikan bersama? Ketika "nurut" menjadi standar patriotisme, kebebasan berpendapat tereduksi menjadi tindakan sekadar menyetujui tanpa berpikir kritis.

3. Manipulasi Kolektif

Frasa ini juga memainkan sentimen kolektif. Warga dibuat merasa bersalah jika tidak "nurut" karena dianggap merusak harmoni sosial. Padahal, demokrasi tidak selalu tentang harmoni; kadang ia adalah tentang konflik gagasan yang sehat untuk mencapai solusi terbaik.

Slogan "tolong nurut" mengaburkan perbedaan antara kepatuhan dan kolaborasi. Demokrasi yang sehat seharusnya mendukung dialog terbuka, bukan menuntut ketaatan buta.

4. Satir Penutup

Jika demokrasi diibaratkan sebuah konser, maka "tolong nurut" adalah seorang penonton yang berteriak kepada orang lain, "Jangan nyanyi sendiri, dengarkan saja vokalisnya!" Padahal, demokrasi adalah panggung karaoke besar di mana semua orang bebas menyumbangkan suara mereka, meskipun fals atau tak selaras.

Jadi, mari kita bertanya:Apakah demokrasi masih demokrasi jika warga hanya diminta "nurut"?Ataukah itu hanya tirani dalam baju formal yang lebih sopan?

Mungkin, "tolong nurut" lebih cocok untuk peraturan lalu lintas, bukan ruang diskusi publik dalam demokrasi.

Powered by wisp

1/20/2025
Related Posts
Ketika Atasan di Demo oleh ASN nya Sendiri

Ketika Atasan di Demo oleh ASN nya Sendiri

Ketika Menristekdikti di demo oleh ASN nya sendiri, bisa jadi indikasi bukan memiliki sifat pemimpin. Seperti bos yang notabane nya instansi itu bukan miliknya sendiri.

Read Full Story
Ketika Kritik Bertemu "Ampun Suhu"

Ketika Kritik Bertemu "Ampun Suhu"

Di era di mana respons terhadap kritik seringkali berupa "ampun suhu", kita menghadapi paradoks modern: bagaimana sebuah percakapan yang dimaksudkan untuk membangun justru berubah menjadi ritual penghormatan yang absurd.

Read Full Story
Pentingkah Menulis Gelar di Sosial Media?

Pentingkah Menulis Gelar di Sosial Media?

Dalam peradaban modern yang semakin terhubung melalui teknologi digital, media sosial telah menjadi panggung utama untuk menampilkan identitas. Bagi sebagian orang, media sosial adalah galeri kesuksesan; bagi yang lain, arena pertempuran opini, dan bagi beberapa lagi, tempat pelarian dari realitas yang mungkin terasa terlalu membosankan atau keras. Di tengah hiruk-pikuk ini, muncul fenomena yang layak menjadi bahan kajian: penggunaan gelar akademik di media sosial.

Read Full Story
© Muiz Ghifari 2025
Blog powered by wisp